Guru Besar IPB ungkap Potensi Ekonomi Maritim pada Internasional Ocean Forum di Taiwan

-

TAIWAN – Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan – IPB University, Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri MSc diundang untuk memberikan pidato kunci (keynote speech) di acara 2024 Taiwan International Ocean Forum yang digelar di Tainan City, Taiwan, Selasa (8/10/2024). Pada forum itu, Prof Rokhmin membeberkan potensi ekonomi maritim (laut dan pesisir) yang jika dimaksimalkan dapat menjadi solusi persoalan dan krisis global.

Sebagai informasi, Acara 2024 Taiwan International Ocean Forum dihadiri oleh 300 top scientists, dosen, praktisi, pebisnis, aktivis lingkungan, dan mahasiswa dari 36 negara. Antara lain, AS, Inggris, Indonesia, Jepang, Korea, india, Palau, Kepulauan Marshal, dan Afrika Selatan.

Dalam paparan makalahnya yang berjudul “Mengelola Aktivitas Manusia untuk Pembangunan Berkelanjutan Pesisir dan Laut di Era Industri 4.0, Triple Ecological Crisis, dan Meningkatnya Ketegangan Geopolitik” Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) itu mengungkapkan sekitar 80 persen permukaan bumi tertutup oleh lautan (72%) dan pesisir (8%).

Mantan Menteri kelautan dan perikanan itu menegaskan bahwa pesisir dan lautan di dunia tidak hanya memberikan nilai ekonomi termasuk sumber daya tak terbarukan (seperti minyak dan gas, berbagai mineral, dan bahan tambang), sumber daya terbarukan (seperti sumber daya perikanan, hutan bakau, padang lamun, terumbu karang, dan bahan bioteknologi), dan jasa lingkungan (seperti untuk wisata pesisir dan laut, dan media transportasi laut); tetapi juga fungsi ekologis tempat kelangsungan hidup manusia peradaban bergantung pada siklus hidrologi, siklus biogeokimia, asimilasi limbah (netralisasi), dan penyerapan karbon serta pengatur iklim.

“Pesisir dan lautan juga dimiliki sumber informasi ilmiah yang sangat besar dan tak terhitung jumlahnya untuk pendidikan, penelitian, dan produksi inovasi yang dibutuhkan manusia,” terangnya.

Meski hanya 8% dari permukaan bumi, wilayah pesisir menyediakan sekitar 45% dari total sumber daya alam dan jasa lingkungan yang tersedia di Bumi (Kostanza, 1998).

Secara global, tuturnya karena kesuburan tanahnya, wilayah pesisir merupakan sumber makanan utama bagi masyarakat dunia (FAO, 2000). Lebih dari 60% populasi global tinggal dalam jarak 50 km dari pantai (FAO, 2014).

Sekitar 65% kota-kota besar di dunia terletak di wilayah pesisir. Lebih dari tiga miliar masyarakat (40% populasi dunia) bergantung pada sumber daya laut dan pesisir untuk penghidupan mereka (Perserikatan Bangsa-Bangsa, 2014).

Sekitar 90% dari total komoditas dan produk diperdagangkan secara global diangkut melalui lautan, lautan, dan wilayah pesisir (UNCTAD, 2012). Dan, pantai dan lautan memainkan peran penting dalam keamanan, pertahanan dan kedaulatan negara mana pun di dunia, khususnya negara-negara pesisir.

Sayangnya, kata Prof. Rokhmin, meskipun peran ekosistem pesisir dan laut sangat penting dan strategis pembangunan ekonomi berkelanjutan dan kelangsungan peradaban manusia, keberlanjutan banyak ekosistem (wilayah) pesisir dan lautan di dunia terancam oleh penangkapan ikan yang merusak oleh 3 praktik: Penangkapan ikan IUU (Ilegal, Unregulated, and Unreported). Kemudian, penangkapan ikan berlebihan; degradasi fisik ekosistem pesisir (termasuk hutan bakau, rawa asin, muara, pantai, padang lamun, dan terumbu karang); pencemaran (khususnya pencemaran plastik dan limbah bahan beracun berbahaya); hilangnya keanekaragaman hayati; konflik pemanfaatan ruang; dan jenis perusakan lingkungan hidup lainnya.

Sejak tahun 1990-an ancaman (tekanan) lingkungan telah diperburuk oleh dampak negatif Perubahan Iklim Global di pesisir dan lautan termasuk peningkatan suhu laut, kenaikan permukaan laut, banjir, penggenangan (tenggelamnya) pulau-pulau kecil di dataran rendah dan wilayah pesisir, pengasaman laut, cuaca ekstrem, dan angin topan.

“Jika tidak ditangani dengan baik dan segera, hal ini akan menyebabkan degradasi lingkungan di pesisir dan lautan dunia dapat membahayakan penyerapannya kapasitas Gas Rumah Kaca (CO2, metana, dan NOx) dan potensinya (misalnya hutan bakau, padang lamun, terumbu karang, dan lautan) sebagai solusi berbasis alam untuk menghentikan pemanasan global atau titik didih, dan peran Karbon Biru dalam Sistem Kelautan dan Atmosfer,” ujarnya.

Anggota DPR-RI 2024-2029 itu menambahkan, dunia saat ini juga menghadapi tiga krisis ekologi: perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, dan polusi. “Ancaman-ancaman yang saling berhubungan ini mendatangkan malapetaka pada ekosistem pesisir dan laut kita,” katanya.

Dalam kesempatan tersebut, Prof. Rokhmin mengupas tentang pentingnya Ekonomi Biru (Blue Economy) yang kini menjadi isu global untuk mewujudkan tata kehidupan dunia yang lebih dan berkelanjutan.

Mengutip UNEP (20216), ia menyampaikan bahwa Ekonomi Hijau didefinisikan sebagai ekonomi rendah karbon, efisien sumber daya, dan inklusif secara sosial. Blue Economy adalah penerapan Ekonomi Hijau di wilayah kelautan (dalam Dunia Biru) (UNEP, 2012).

“Ekonomi Biru adalah pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut secara berkelanjutan untuk pertumbuhan ekonomi, peningkatan kesempatan kerja dan kesejahteraan manusia, serta sekaligus menjaga kesehatan dan keberlanjutan ekosistem pesisir dan laut,” kata Prof. Rokhmin yang juga nggota Dewan Penasihat Ilmiah Internasional dari Pusat Pengembangan Pesisir dan Laut, Universitas Bremen, Jerman itu mengutip Bank Dunia (2016).

Selain itu, Ekonomi Biru adalah seluruh kegiatan ekonomi yang berkaitan dengan lautan dan pesisir. Hal ini mencakup berbagai sektor ekonomi mapan dan sektor baru (EC, 2020).

Ekonomi Biru juga mencakup manfaat ekonomi pesisir dan laut yang tidak dapat dinilai dengan uang, seperti Perlindungan Pesisir, Keanekaragaman Hayati, Assimilator Sampah, Penyerapan Karbon, dan Pengatur Iklim (Conservation International, 2010).